Searching...
Tuesday 29 April 2014

Archipelego, Kilas Sejarah Maritim Indonesia

ArchipelegoTerm ini umum dikenal dan diartikan dengan negara kepulauan. Meski begitu, dalam beberapa lektur oleh para sejarawan maritim Indonesia, masih diperdebatkan. Secara etimologi,archipelego berasal dari bahasa Yunani: arkhi, utama dan pelagos, laut. Jadi, menurut Abd Rahman Hamid, archipelego  dapat diartikan: laut (yang) utama. (Abd Rahmad Hamid 2013:2). Dengan begitu, makna sesungguhnya dari archipelego ialah,
laut yang ditaburi oleh pulau-pulau, bukan kelompok pulau-pulau yang dikelilingi laut. Karena itu,Adrian Bernard Lapian dalam Ternate sebagai bandar di Jalur Sutra menulis, “..lebih tepat diterjemahkan sebagai negara laut atau negara bahari.
 Bukan negara kepulauan. Sebab, yang utama adalah laut yang ditaburi oleh pulau-pulau. Namun, jauh sebelum para sejarawan maritim menisbahkan istilah archipelego dengan bahasa Yunani dan Prancis, masyarakat  pesisir telah mengenalnya dalam term yang lebih populis terkait erat dengan kebudayaan pesisir. Archipelego  karena itu, telah menjadi sikap keseharian masyarakat pesisir.  Dalam sosiologi pesisir, hal itu tampak pada laku yang jauh dari menopoli dan dominasi.
Kilas jalur perdagangan maritim
Kita tahu, pada sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-15 seperti ditulis Laksamana TNI (Purn) Bernard Kent Sondakh, terdapat lima jaringan perdagangan (commercial zones). Pertama, jaringan perdagangan Teluk Bengal, yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Lanka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat Sumatera. Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka,Thailand, dan Vietnam Selatan. Jaringan ini juga dikenal sebagai jaringan perdagangan Laut Cina Selatan. Keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam). Kelima, jaringan Laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir Barat Kalimantan, Jawa, dan bagian Selatan Sumatera. Jaringan perdagangan ini berada di bawah hegemoni Kerajaan Majapahit.
Meskipun kenyataannya laut sebagai infrastruktur perjalanan sejarah ummat manusia memiliki peranan yang sangat penting. Namun, menurut Alfred Thayer Mahan (1880:3), sejarawan umumnya tidak mengenal dengan baik keadaan laut, tidak ada perhatian khusus terhadap laut, tidak mempunyai pengetahuan khusus tentang laut dan seolah tidak mengindahkan pengaruh kekuatan laut yang sangat menentukan jalannya peristiwa-peristiwa besar dunia.
Geografi Indonesia yang sangat bersifat kelautan, seharusnya membuat Bangsa Indonesia terus mengembangkan tradisi, budaya dan kesadaran bahari serta menjadikan laut sebagai tali kehidupannya. Namun, Indonesia juga wajib memperhatikan kepentingan dunia internasional terutama dalam menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran internasional dalam wilayah kedaulatan dan wilayah berdaulatnya. Kewajiban ini termaktub dalam pasal-pasal UNCLOS 1982, serta tidak kalah pentingnya, merupakan salah satu tujuan nasional seperti termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: …ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...
Indonesia memiliki pengaruh yang sangat dominan di wilayah Asia Tenggara, terutama melalui kekuatan maritim besar di bawah Kerajaan Sriwijaya dan kemudian Majapahit. Wilayah laut Indonesia yang merupakan dua pertiga wilayah Nusantara mengakibatkan sejak masa lampau, Nusantara diwarnai dengan berbagai pergumulan kehidupan di laut. Dalam catatan sejarah terekam bukti-bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia menguasai lautan Nusantara, bahkan mampu mengarungi samudera luas hingga ke pesisir Madagaskar, Afrika Selatan.
Harapan dan tantangan
Banyak kalangan merisaukan sikap Pemerintah yang seolah melupakan kejayaan maritim masa lalu itu. Mungkin tak berlebihan bila kita menyebut, Pemerintah Indonesia abai terhadap kepulauan dan kelautannya sendiri. Problem disintegrasi misalnya, ternyata banyak disebabkan oleh ketidaktegasan Pemerintah menentukan atau lebih tepatnya mempertahankan batas teritorial pesisir dan kepulauan di ujung Indonesia. Peristiwa Sipadan dan Ambalat merupakan peringatan dini terhadap kemungkinan masalah lebih besar di kemudian hari.
Kita tentu berharap, seperti disebut Sarwono Kusumaatmadja, melalui Inpres 5 tahun 2005, asas cabotagedihidupkan kembali. Asas ini adalah prinsip hukum yang dianut oleh sebagian besar negara maritim dunia yang menyatakan bahwa angkutan di dalam suatu negara hanya dapat diangkut oleh kapal yang berbendera dari negara yang bersangkutan.
Demikian juga otoritas moneter telah menetapkan kapal sebagai benda yang boleh diagunakan. Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) sedang dalam penyusunan termasuk visi maritim di dalamnya, seiring dengan langkah-langkah konkrit lanjutan menyangkut industri strategis dan kelembagaan pelabuhan.
Soal ini terkait dengan perbedaan aplikatif antara kelautan dan maritim. Bila kelautan merujuk pada  laut sebagai wilayah geopolitik maupun wilayah sumber daya alam. Maka, maritim menyangkut kegiatan ekonomi terkait perkapalan. Baik armada niaga maupun militer, serta kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan itu. Seperti, industri maritim dan pelabuhan. Dengan demikian kebijakan kelautan merupakan dasar bagi kebijakan maritim sebagai aspek aplikatifnya! Satu lagi, catatan yang perlu mendapat perhatian serius ialah, kasus illegal fishing yang banyak terjadi di pesisir Timur Indonesia. Problem yang cukup kompleks ini tentu membutuhkan langkah-langkah radikal oleh pemerintah, berani mengambil kebijakan untuk keunggulan maritim Indonesia.
sumber : http://habaritidore.com/

0 comments:

Post a Comment

 
Back to top!